Sunday, 1 February 2015

REKONSTRUKSI PSSM DI TUMARAS ( bagian 2 )

Tags

Semilir angin pagi dari ufuk timur seolah menolak lembut kepulangan dan kayuhan biduk Raja Silahisabungan, gemericik air danau berubah bagai gelora kesedihan. Biduk semakin menjauh dari tepian pantai!
Di belakang terlatar guratan kabut menggambarkan kekalutan hati namboru Deang Namora yang berderai airmata melihat adiknya pergi. Tak terasa sudah tengah hari namun dia tak beranjak dari tempat itu. Perut kosong dari pagi dan lapar tak dihiraukannya. Sekujur tubuh yang diam terpaku hanya bergerak dan tergetar saat dia menangis tersedu. Semakin jauh adiknya pergi, hatinya semakin teriris.
Dalam tangis, dia menggumam,
"Ito hasian, entah kamu mengerti:
Kebisuanmu bagai tarian daun kering jatuh;
Pamit dan lambaian tanganmu, pilu bagai sayatan ilalang.
Kepergianmu seolah mengubur petang;
Sosok yang hilang membuang harap dan sayang.
Walau matamu berkata dalam diam;
Namun pegangan tanganku mengapa engkau lepaskan?"
Setelah tak lagi melihat sosok adiknya, dia bertanya (entah kepada siapa),
"Ito, adakah kamu akan kembali?" Namboru merasakan, inilah hari yang paling kelam sepanjang hidupnya.
Mentari merangkak naik dan terik membakar, di hati Tambun pun tumbuh ketegaran atau bahkan ketegaan meninggalkan ito yang mengasihinya. Matanya sibuk menyapu panorama bebukitan di pinggir danau dan menerawang ke depan, serasa jelajah ini sangat jauh hingga tiba di labuhan. Beberapa tahun silam, jalur inilah juga dilaluinya, saat dia yang masih bayi merah, dibawa dalam kerenang, berbalut lampin lapuk. Sementara Raja Silahisabungan lebih banyak diam, entah gerangan apa yang berkecamuk dalam pikirnya!
Tak lama biduk sudah merapat!
"Aku mengantarkanmu sampai di sini," kata ayahanda. Lalu jarinya menunjuk, di mana terlihat seorang perempuan menyokong kendi di atas kepala, berjalan menuju ke arah mereka. "Dia hendak mandi sembari mengambil air minum. Tunjukkanlah ini padanya sebagai tanda pengenal dirimu," lanjutnya menjelaskan seraya memasangkan sebuah cincin ke jari tangan anaknya.
Raja Silahisabungan bergegas meninggalkan anaknya sendirian di lereng sumber itu. Dia beranjak pergi dengan hanya berkata layaknya doa, "Horas ma ho, amang!"
Kebersamaan ini sekaligus perpisahan terakhir di antara keduanya. Dia dan anak siampudannya tak lagi pernah bertemu hingga akhir hidupnya!
(BERSAMBUNG)


EmoticonEmoticon