Wednesday, 26 February 2014

MARGA SILALAHI DAN CABANG-CABANG MARGA TURUNANNYA

Tags

MARGA SILALAHI DAN CABANG-CABANG MARGA TURUNANNYA
(sebuah analisa dan tinjauan logis akan fakta yang ada)

Pertama-tama perlu kita pahami bersama bahwa marga adalah sebuah nama keluarga yang diwariskan secara turun temurun untuk hubungan kekerabatan yang didasarkan pada pertalian darah, kelompok dan persamaan wilayah. Di Indonesia sendiri yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku dan terbagi dalam beberapa kelompok dan wilayah, banyak sekali ditemukan penggunaan marga yang didasarkan pada banyak patokan dan hal yang menunjukkan sebuah hubungan kekerabatan. Contohnya pada masyarakat suku jawa, penggunaan marga hanya terbatas pada kelompok dan golongan ningrat atau pewaris tahta kerajaan. Sementara bagi masyarakat suku dayak di pedalaman Kalimantan, marga justru membedakan sub-suku antara kelompok yang satu dengan yang lainnya dalam satu induk suku yang sama. Ada pula marga pada suku minang, yang mana marga dipakai oleh satu keturunan yang berasal dari pertalian darah yang uniknya justru berasal dan diturunkan melalui garis darah perempuan (ibu) atau dalam istilah ilmiah disebut dengan matriliniar.

Di lingkungan masyarakat suku BATAK, yang terdiri atas sub suku : Toba; Simalungun; Karo; Pakpak; Mandailing dan Angkola, marga menunjukkan hubungan kekerabatan yang didasarkan pada pertalian darah yang berasal dari satu leluhur yang sama dan diwariskan melalui garis darah laki-laki atau dalam istilah ilmiah disebut dengan patriliniar. Meskipun demikian, pada masyarakat BATAK tidak secara otomatis tingkatan marga menyatakan dan atau menggambarkan kesamaan tingkatan generasi, banyak dijumpai situasi dimana dari satu leluhur yang sama sering didapati lahir beberapa marga yang baru yang secara otomatis menjadi sub-marga yang disandang sebelumnya. Ditambah perbedaan unsur kedekatan, keteguhan dan kekompakan antara satu kelompok marga dengan kelompok marga lainnya, baik yang bermuasal dari satu leluhur yang sama ataupun yang berbeda mengakibatkan banyak timbul perdebatan dan silang sengketa memandang sistim dan norma yang ada dalam hubunbgannya dengan ketentuan adapt dan budaya. Seperti misalnya ketentuan kawin mengawini antara marga yang bermuasal dari satu leluhur (beda marga namun satu asal leluhur), dimana bagi kelompok yang satu masih mempertahankan larangan untuk hal itu sementara bagi kelompok lainnya adalah lumrah. 

Nama marga pada masyarakat batak didapatkan dari banyak hal dan keadaan, tidak berpatokan pada satu ketentuan. Hal ini dapat kita ketahui dari keterangan dan fakta yang ada sebagaimana kita temui sehari-hari, antara lain :

Ada yang berpatokan pada nama leluhur muasal yang langsung secara bulat-bulat dijadikan marga oleh keturunannya, seperti : Sagalaraja untuk marga Sagala; Toga Simamora untuk marga Simamora; Simbolontua untuk marga Simbolon; dan banyak contoh lainnya. (mohon diperhatikan bahwa kata : Raja; Toga; Tua adalah gelar yang merupakan penghormatan atas kehormatan yang ditunjukkan dan diimplementasikan oleh yang bersangkutan selama masa hidupnya, ada gelar lain seperti Guru & Tuan)

Ada yang berpatokan dari nama kampung (huta atau lumban) yang dibuka oleh leluhurnya untuk dijadikan permukiman, yang mana menandakan marga yang dipakai menunjukkan muasalnya, seperti : Hutapea (kampung yang memiliki mata air sehingga menciptakan lahan yang selalu kelihatan ber-air); Lumbangaol/Hutagaol (kampung yang memiliki banyak sekali tanaman pisang); Hutatoruan/Lumbantoruan (kampung yang terletak pada dataran yang lebih rendah dari kampung lainnya; dan beberapa contoh lainnya.

Ada yang berpatokan dari kedudukan atau urutan persaudaraan dalam keluarga, yang mana kata yang menunjukkan kedudukan atau urutan tersebut digunakan sebagai marga oleh keturunannya, seperti : Siahaan (berasal dari kata haha yang artinya adalah abang, Siahaan mengartikan si-abang-an); Silitonga (dari kata tonga yang artinya tengah, Silitonga artinya berada ditengah antara abang dan adik); Siagian (berasal dari kata anggi yang artinya adik, siagian mengartikan si-adik-an); dan masih ada beberapa lainnya.

Ada yang berpatokan dari sebuah kejadian tertentu yang tengah berlangsung, yang mana kata yang menggambarkan kejadian tersebut digunakan sebagai marga bagi keturunannya, seperti : Sianipar (berasal dari kata sian taripar yang artinya dari seberang); Tampubolon (berasal dari kata Tampuk Na Bolon yang artinya adalah Batang atau Pokok yang Besar); Napitupulu (dari kata pitupulu yang artinya tujuh puluh); dan beberapa contoh lainnya.

Selain ke-empat patokan tersebut, ada beberapa marga yang mendasarkan pemakaian marga bagi ketrunannya yang masih belum dapat terdefinisikan (setidaknya bagi penulis hingga saat ini), seperti : Simanjuntak; Panjaitan; Sitorus; dan beberapa marga lainnya. 

Penggunaan marga SILALAHI bagi pemakainya menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah keturunan (pomparan) RAJA SILAHISABUNGAN yang bermuasal dari kampung yang bernama SILALAHI NA BOLAK dan berhadap-hadapan dengan TAO SILALAHI. Sebagaimana pengakuan yang telah dinyatakan melalui kesepakatan (dos ni roha) segenap keturunannya melalui pembangunan dan peresmian TUMARAS, yang saat ini selalu dipestakan setiap tahunnya dengan ketentuan pelaksana secara bergiliran dari keturunan ke-delapan anaknya yaitu : LOHORAJA; TUNGKIRRAJA; SONDIRAJA; BUTARRAJA; BARIBARAJA; DEBANGRAJA; BATURAJA dan TAMBUNRAJA.

Perhatikan kata yang dijadikan sebagai marga, yaitu SILALAHI yang berasal dari kata Silahisabungan, sebagaimana juga kata Silau untuk marga Malau; Tampuk Na Bolon untuk marga Tampubolon; Sian Taripar untuk marga Sianipar; Sihahaan/Sianggian untuk marga Siahaan/Siagian, hal ini menunjukkan tidak ada nilai mutlak yang mengharuskan bahwa kata muasal harus secara bulat-bulat dijadikan kata akhir yang dipakai sebagai marga. Maka untuk itu tidak ada alasan absolut dan keharusan yang melarang penggunaan kata Silalahi sebagai marga bagi keturunan Silahisabungan, setidaknya seluruh masyarakat batak dari semua kalangan marga mengetahui dan memahami hal ini secara wajar, normal dan awam seperti mengetahui dan memahami asal muasal marga lainnya.

Adapun keinginan sekelompok pihak yang enggan menerima keadaan tersebut, dan dengan segala cara berusaha memaparkan kesenjangan dan keanehan akan normalitas dimaksud, semata-mata didasarkan pada keinginan untuk mencaplok dan menguasai kemegahan dan kebesaran marga Silalahi (yang telah dibentuk, dibangun dan senantiasa dipertahankan dan diperjuangkan dengan penuh integritas, loyalitas dan militansi secara bersusah payah saling mendukung dan saling menguatkan satu dengan lainnya secara berkesinambungan selama ratusan tahun oleh segenap keturunannya), hanya demi mendapatkan pengakuan sebagaimana rekayasa yang telah mereka ciptakan dan selalu mereka pertahankan tanpa menyadari bahwa mereka sendirilah yang pada hakekatnya semakin terpojok dan terisolasi dan akhirnya akan hilang tanpa arti.

Marga SILALAHI yang berasal dari SILALAHI NA BOLAK tersebut selanjutnya melahirkan beberapa marga lain dari keturunannya yang tersebar ke berbagai daerah. Marga-marga tersebut antara lain :
Sihaloho;
Situngkir; Sipayung; Sipangkar;
Rumasondi; Rumasingap; Naiborhu; Sinurat/Doloksaribu/Nadapdap;
Sidabutar; Sinabutar; Rumabolon; Ambuyak; Rumatungkup;
Sidabariba; Sinabariba;
Sidebang; Sinabang;
Pintubatu; Sigiro;
Tambun; Tambunan; Sunge; Daulay; Baruara; Lumbanpea; Lumbangaol; Pagaraji.

Selain itu :
keturunannya yang merantau dan bermukim di wilayah Karo, umumnya memakai marga Sembiring. Namun demikian dari 19 cabang marga sembiring yang ada, secara fakta ditemui dan diyakini hanya marga-marga sembiring berikut yang termasuk kedalam kelompok marga SILALAHI, yaitu : KELOKO; KEMBAREN; SINULAKI; SINUPAYUNG; BOSUK; DEPARI; PELAWI. 
keturunannya yang merantau dan bermukim di wilayah Simalungun, umumnya memakai marga SIPAYUNG. 
keturunannya yang merantau dan bermukim di wilayah Mandailing dan Angkola, umumnya memakai marga DAULAY.
keturunannya yang keluar dari silalahi na bolak dan menyebar ke daerah sekeliling pakpak ada juga yang bermargakan KALOKO dan yang lain umumnya memakai marga TURGAN.

soara na jou-jou sian balian. tarbege tu saluhut pardihuta..,
parroha na togu do raja silahisabungan, gabe situtu do pomparanna..!

Lippo Cikarang, 26 April 2010
Apul Rudolf Silalahi


EmoticonEmoticon